TANGERANG – Bergulirnya Pemberitaan Makam Ki Buyut Jenggot menjadi sebagai main issue yang melatarbelakangi mis persespi, lokasi Makam bertepatan dengan lokasi pembangunan Proyek Perumahan Lippo Karawaci di Kelurahan Panunggangan Barat Kecamatan Karawaci Kota Tangerang Banten.
Saipul Basri yang masih menyuarakan aspirasi warga Panunggangan Barat khususnya sekitar makam, agar makam tidak di gusur atau dipindahkan,
“terkait dengan pemberitaan soal penetapan kawasan Makam Ki Buyut yang ditetapkan sebagai Non BCB (bukan termasuk benda cagar budaya), pada prinsipnya temen-temen tidak mempermasalahkan soal status tersebut, bagi saya dan kawan-kawan disana adalah agar makam itu tdk di gusur atau dipindahkan saja” tegas Saipul Basri yang akrab dipanggil Marsel.
Menurut Bambang Kurniawan sebagai Widyaiswara Kota Tangerang yang juga Akademisi Universitas Yuppentek, sebuah entitas kota yg mencirikan dirinya sebagai kota maju, Kota Tangerang saat ini terus mengembangkan dirinya menjadi kota yang bercirikan kolaborasi dan focus pada konsep pengembangan kota nya yang sustainable atau berkelanjutan. Dua ciri konsep ini (kolaborasi dan sustainable) nampaknya juga akan menjadi Trade Mark bagi pengembangan kota-kota maju kedepannya.
“Konsep kolaborasi senantiasa menekankan pada beberapa aspek (Ansell and gash, 2017) yakni : Face to face dialoq, dalam membahas setiap problem pembangunannya, komunikasi yang baik maka akan menghadirkan Trust Building sebagai aspek kedua dalam membangun kolaborasi, kepercayaan publik yang tinggi pada pemerintah akan membawa hubungan diantara kedua pihak (Pemerintah dan Masyarakat) menjadi jauh lebih berkualitas” papar Bambang.
“Aspek berikutnya adalah Commitment to Process, tiap-tiap pihak memiliki komitmen untuk dapat melaksanakan proses ngobrol bareng dalam setiap tahapan pembangunan, termasuk pada tahap pengambilan keputusan, dalam ngobrol bareng (dialog) ini tentu harus ada saling memberikan informasi atau pengetahuan (share understanding sebagai aspek berikutnya), sehingga terjadi interelasi komunikasi yang optimal dan saling menguatkan” tambahnya.
“Sebagai contoh, dalam konteks Pembangunan Di Kawasan Panunggangan Barat Kota Tangerang, dimana terjadi persepsi lebih dalam pengelolaan/ penggunaan lahan, maka tentu diperlukan adanya komunikasi dalam bentuk face to face dialog, sehingga kepentingan semua pihak (masyarakat, pemerintah dan pengembang) dapat terakomodir secara komprehensif” lanjut Bambang.
“Penulis merasa yakin bahwa proses ini dapat menjadi awal yg baik yaitu face to face dialoq, walau sudah ditetapkan oleh Dirjen/Balai Cagar Budaya bahwa bahwa status Makam Ki Buyut Jenggot (sebagai main issue) yang melatarbelakangi mis persespi ini sudah ditetapkan dengan status Non Cagar Budaya (sesuai dgn peraturan perundangan ttg cagar budaya) dan semua pihak juga akhirnya menerima hasil putusan ini dengan baik” jelasnya.
“Agar menjadi sebuah proses pembangunan yang membawa kebaikan bersama dan tentunya berkelanjutan/sustainable, maka aktivitas ngobrol atau ngopi bareng diantara berbagai pihak terus diupayakan sebagai sebuah kebiasaan dalam proses pembangunan, khususnya yang memiliki potensi isu yang agak kompleks, Kota Tangerang terus menggagas hal tsb menjadi sebuah tradisi dalam penyelesaian proses pembangunannya” tutup Bambang yang sempat diakhiri dengan teriakan. (Cok)